Ilustrasi: Pendidikan yang Berhamba Pada Anak |
Pendidikan dapat diartikan sebagai bimbingan atau pertolongan yang
diberikan dengan sengaja terhadap anak didik oleh orang dewasa agar ia menjadi
dewasa. Dalam perkembangan selanjutnya, pendidikan berarti usaha yang
dijalankan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi seseorang
atau sekelompok orang agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup dan penghidupan
yang lebih tinggi (mental). Dengan demikian pendidikan berarti segala usaha
orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan
jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan. Lebih lanjut, Pendidikan
menurut Undang-undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS)
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa, dan negara. Pendidikan adalah sesuatu
yang universal dan berlangsung terus dan tak terputus dari generasi ke genarasi
di manapun di dunia ini. Upaya memanusiakan manusia melalui pendidikan itu
diselenggarakan sesuai dengan pandangan hidup dan dalam latar sosial-kebudayaan
setiap masyarakat tertentu. Keberhasilan anak dalam pendidikan sangat
bergantung pada orang dewasa, yaitu orang tua dan guru yang merupakan
lingkungan sosial utama mereka yang menuntun dalam hidupnya. Pendidikan merupakan faktor penting dalam kemajuan negara. Namun
sayangnya, masyarakat dan pemerintah belum sepenuhnya sadar dengan
penerapannya. Masyarakat Indonesia masih terngiang oleh model pendidikan
kolonial yang hanya memeras keringat rakyat untuk kepentingan sepihak dan
sesaat. Akhirnya, pandangan masyarakat Indonesia selalu ‘menghamba’ kepada
perintah. Padahal, Indonesia adalah bangsa dengan sejarah yang besar. Kebesaran
sejarah itu lenyap oleh kependudukan pemerintah kolonial yang membuat strata
sosial dan lapisan lapisan masyarakat semakin tebal. Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
yang menyatakan bahwa: Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
dan membentuk serta peradaban bangsa yang bermanfaat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang maha esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab. (Oemar Hamalik: 2009, h.131-132) Tujuan pendidikan di atas diwujudkan melalui proses pendidikan.
Oleh karena itu pendidikan memegang peranan penting dalam mengembangkan potensi
yang telah dimiliki oleh manusia dan pendidikan merupakan wahana mendapatkan
ilmu pengetahuan. Tujuan pendidikan dapat menjadikan peserta didik beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta menjadi diri yang bertanggung jawab,
setiap pendidikan akan membekali peserta didik dengan ilmu untuk masa depan yang
diarahkan untuk meningkatkan kualitas manusia melalui olah batin (aspek
transendensi), olah pikir (aspek kognisi), olah rasa (aspek afeksi), dan olah
kinerja (aspek psikomotoris) agar memiliki daya saing dalam menghadapi tantangan
global. Pendidikan merupakan tolak ukur kemajuan suatu bangsa bahkan pendidikan
merupakan alat untuk menguasai dunia. Pendidikan yang menghamba pada anak juga dikenal dalam pembelajaran dalam istilah pembelajaran berbasis Student Centered Learning (SCL). Siswa belajar dari apa yang dilakukan bukan dari apa yang disampaikan guru. Pendekatan pembelajaran yang berpusat kepada peserta didik atau anak merupakan sistem pembelajaran yang menunjukkan dominasi peserta didik selama kegiatan pembelajaran dan guru hanya sebagai fasilitator, pembimbing dan pemimpin. Pembelajaran berpusat pada anak dapat disimpulkan bahwa dalam pelaksanakan kegiatan pembelajaran berpusat kepada anak. 1.
Konsep Pendidikan Menurut Ki Hajar Dewantara Menurut Ki
Hadjar Dewantara pendidikan adalah daya-upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi
pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek) dan tubuh anak, dalam rangka kesempurnaan
hidup dan keselarasan dengan dunianya.Pendidikan itu membentuk manusia yang
berbudi pekerti, berpikiran (pintar, cerdas) dan bertubuh sehat. Pertama,
manusia Indonesia yang berbudi pekerti adalah yang memiliki kekuatan batin dan
berkarakter. Artinya, pendidikan diarahkan untuk meningkatkan citra manusia di
Indonesia menjadi berpendirian teguh untuk berpihak pada nilai-nilai kebenaran.
Dalam tataran praksis kehidupan, manusia di Indonesia menyadari tanggungjawabnya
untuk melakukan apa yang diketahuinya sebagai kebenaran. Ekspersi kebenaran itu terpancarkan secara
indah dalam dan melalui tutur kata, sikap, dan perbuatannya terhadap lingkungan
alam, dirinya sendiri dan sesamanya manusia.Jadi, budi pekerti adalah istilah
yang memayung perkataan, sikap dan
tindakan yang selaras dengan kebenaran ajaran agama, adat istiadat,
hukum positif,dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan universal. Kedua, manusia di Indonesia yang maju pikirannya adalah yang cerdas
kognisi (tahu banyak dan banyak tahu) dan kecerdasannya itu membebaskan dirinya
dari kebodohan dan pembodohan dalam berbagai jenis dan bentuknya (misalnya:
karena rekayasa penjajah berupa indoktrinasi). Istilah maju dalam pikiran ini
menunjukkan meningkatnya kecerdasan dan kepintaran. Manusia yang maju
pikirannya adalah manusia yang berani berpikir tentang realitas yang
membelenggu kebebasannya, dan berani beroposisi berhadapan segala bentuk
pembodohan. Ketiga,
manusia di Indonesia yang mengalami kemajuan pada tataran fisik atau tubuh
adalah yang tidak semata sehat secara jasmani, tapi lebih-lebih memiliki
pengetahuan yang benar tentang fungsi-fungsi tubuhnya dan memahami
fungsi-fungsi itu untuk memerdekakan dirinya dari segala dorongan ke arah
tindakan kejahatan. Manusia yang maju dalam aspek tubuh adalah yang mampu
mengendalikan dorongan-doroangan tuntutan tubuh. Dengan dan melalui tubuh yang
maju itu pula, pikiran yang maju dan budi pekerti yang maju memperoleh dukungan
untuk mendeklarasi kemerdekaan diri dari segala bentuk penindasan ego diri yang
pongah dan serakah di satu sisi dan memiliki kemampuan untuk menegaskan
eksistensi diri secara beradab sebagai manusia yang merdeka (secara jasmani dan
ruhani) di sisi lain. Dalam praksis kehidupan, kemajuan dalam tubuh bisa
dipahami sebagai memiliki kekuatan untuk memperjuangkan kemerdekaan dan
keterampilan untuk mengisi kemerdekaan itu dengan segala pembangunan yang
humanis. Dalam konteks penalaran atas konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara di
atas, pendidikan adalah upaya pemanusiaan manusia secara manusiawi secara utuh
dan penuh ke arah kemerdekaan lahiriah dan batiniah. Maka pendidikan harus
bersentuhan dengan upaya-upaya konkret berupa pengajaran dan pendidikan.
Menurut Ki Hadjar Dewantara pengajaran adalah upaya memerdekakan aspek badaniah
manusia (hidup lahirnya). Apa arti ungkapan tersebut? Hemat kami yang hendak
ditekankan Ki Hadjar Dewantara adalah bahwa:
aktivitas pengajaran itu berupa tindakan informatif tetapi sekaligus
formatif. Pada tataran informatif pengajaran adalah aktivitas membangun otonomi
intelektual secara disengaja, yang dampaknya adalah mencerdaskan kognisi
seseorang sehingga ia terbebaskan dari belenggu “kebodohan” kognisi. Sementara
pada tataran formatif, ia membangun otonomi eksistensial dalam arti membangun
kesadaran akan hak-hak asasinya sebagai manusia yang bermartabat luhur.
Signifikanisnya adalah bersikap kritis terhadap realitas yang membelenggu
kondisi eksistensialnya sebagai manusia. Dalam praksis kehidupan, otonomi
intelektual dan eksistensial itu terekspresi dalam hidup yang tidak mengalami
disorientasi dan tidak teralienasi secara personal dan sosial. Singkatnya,
kemerdekaan lahiriah itu di satu sisi bermuara pada kejelasan orientasi hidup,
dan di sisi lain hak-haknya mendapat pengakuan dan penghormatan. Jadi, istilah “memerdekakan lahiriah” di sini
mengandung makna bahwa pengajaran adalah daya upaya yang singnifikan untuk
membangun otonomi intelektual seseorang yang kemudian menyadarkan dirinya untuk
menegaskan otonomi eksistensialnya (badaniahnya) yang secara kodrati merupakan
anugerah dari Allah. Kedua otonomi itu merupakan wilayah kodrati yang
penegasannya bisa direkayasa melalui aktivitas pengajaran manusia secara
beradab. Sementara pendidikan adalah
upaya memerdekakan aspek batiniahnya. Persoalannya
adalah apakah yang dimaksudkan Ki Hadjar Dewantara dengan aspek batiniah? Bila
istilah tersebut ditilik dari penalaran atas konsep pendidikannya di atas, maknanya
lantas bersentuhan dengan konsepsi budi pekerti. Artinya, istilah batiniah sama
sekali tidak merujuk secara langsung pada wilayah spiritualitas sebagai mana
dikonsepsikan dalam dan melalui agama-agama. Selaras dengan penalaran atas
makna budi pekerti, istilah batiniah di sini bernuansa kesahajaan sebagai
pribadi yang mengalami kecerdasan. Maka manusia yang mengalami kemerdekaan
batiniah adalah yang menjadi subyek realitas dalam arti seluas-luasnya.
Pendidikan membentuk dan menghantar seseorang menjadi subyek realitas. Ia
memiliki otonomi intelektual, otonomi eksistensial, dan otonomi sosial sebagai
anggota masyarakat. Ketiga wilayah otonomi itu menjadi bagian integral
identitas diri atau jati diri.Manusia yang terdidik mampu menyikapi
tuntutan-tuntutan dan tantangan-tantangan kehidupan dengan sikap bersahaja. Ia
tidak lagi terperangkap dalam kepentingan-kepentingan diri dan golongan yang
temporal dan duniawi sifatnya. Praksis kehidupannya sarat dengan permenungan
atas nilai-nilai kemanusiaan universal dan sekaligus disertai dengan daya upaya
untuk mewujudkannya dalam kehidupan nyata. Manusia yang merdeka batiniahnya
adalah manusia pintar tapi sekaligus benar tindakannya, maju penalaran akalnya
dan sekaligus bermoral perilakunya (tindakannya berlandaskan rasa hormat kepada
martabat manusia), beragama dan sekaligus beriman (Allah dihayati sebagai
prioritas tuntutan-tuntutan dalam kehidupan).
Dalam praksisnya, pengajaran dan pendidikan harus disesuaikan dengan
kondisi hidup dan kehidupan rakyat. Kondisi
rakyat yang terjajah tidak cukup menguntungkan dunia pendidikan manakala
prosesnya berorientasi pada perolehan keuntungan material. Maka yang hendak
disasar Ki Hadjar dalam dan melalui pendidikan adalah tumbuhnya kesadaran akan
pentingnya menghormati nilai-nilai kemanusiaan, baik dalam kehidupan personal
maupun kehidupan sosial. Artinya, kesadaran akan pentingnya hormat pada
martabat kehidupan yang diimani sebagai hormat pada pencipta kehidupan. Di
situlah dasar daya upaya memerdekakan badaniah dan batiniah dibangun. Berangkat dari uraian di atas, kita dapat menangkap pemikiran Ki Hadjar
Dewantara mengenai pendidikan, yakni upaya konkret untuk memerdekakan manusia
secara utuh dan penuh. Baginya, pendidikan adalah pintu masuk menuju kemerdekaan
lahiriah dan batiniah manusia, baik sebagai makhluk individual maupun sebagai
anggota masyarakat dan warga dunia. Dengan demikian, pendidikan menjadi wadah
untuk membangun otonomi intelektual, otonomi eksistensial, dan otonomi sosial.
Pendidikan adalah cara untuk sampai pada kesadaran akan pentingnya memiliki
ketiga otonomi diri di atas. Dengan demikian, kemerdekaan badaniah dan batiniah
yang dimaksudkan Ki Hadjar Dewantara adalah keadaan dimana manusia di Indonesia
mampu menegaskan secara serentak otonomi eksistensi dirinya sebagai warga
Indonesia dan warga dunia. Pendidikan menghantar seseorang memiliki otonomi
diri secara utuh dan penuh dalam wilayah kognisi, afeksi, spiritual, social
sehingga eksistensinya mampu berdiri sendiri, tidak tergantung pada orang lain,
dan dapat mengatur dirinya sendiri. 2.
Pendidikan
yang Berhamba Pada Anak Filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara adalah student-centered. Istilah yang beliau pergunakan adalah
"berhamba pada sang anak,". Metode Among, tercermin di semboyan Tut
Wuri Handayani, adalah metode yang berhamba pada sang anak. Bapak Pendidikan
kita sejak tahun 1922 sudah mengenalkan dan mengajarkan kita pada filosofi
pendidikan yang berpusat pada siswa. Hal seharusnya tidak asing bagi semua
pemangku kepentingan pendidikan Indonesia. Filosofi pendidikan ini mensyaratkan pendidik untuk memberi
tuntunan sesuai dengan tahap-tahap perkembangan anak secara budi (cipta, rasa,
karsa) dan pekerti (tenaga), sesuai dengan kodratnya sang anak. Ki Hajar Dewantara
sendiri menggambarkan tuntunan pendidikan yang "ekologis," ibarat
petani yang menanam berbagai macam bibit tanaman dan memelihara tanaman
tersebut sesuai dengan kodratnya. Tuntunan ini bersifat holistik, tak boleh
lepas dari pendidikan sosial dan kultural. Ia menghantarkan anak tidak hanya pada ketajaman pikiran,
kehalusan rasa, dan kekuatan kemauan, namun juga pada kebulatan jiwa dan
kebijaksanaan. Ki Hajar Dewantara mengkritik keras sistem pendidikan yang hanya
menekankan pendidikan pikiran saja dan menomorduakan pendidikan sosial. Ki Hajar
Dewantara juga mengkritik keras sistem pendidikan yang mengkultuskan ujian.
Dalam sistem tersebut pelajar tidak akan belajar untuk perkembangan hidup
kejiwaannya, tapi untuk nilai tinggi, rapor, dan ijazah. Sistem seperti ini,
menurut Ki Hajar Dewantara, harus diberantas. Sepertinya praktik pendidikan Indonesia saat ini jauh dari
filosofi sang Bapak Pendidikannya sendiri: terlalu menekankan kognitif (ujian),
tidak memberi tuntunan sesuai kodrat dan tahap perkembangan anak, tidak
holistik, menomorduakan pendidikan sosial dan kultural. Jika ekosistem
pendidikan Indonesia berniat menghadirkan filosofi Ki Hajar Dewantara secara
substansi, bukan sekedar seremonial, kita perlu kerja komprehensif. Semua
kebijakan mulai dari sektor input, proses, dan output, harus bertanya, sejauh
mana ia mendukung filosofi berhamba pada sang anak. Menurut laporan The Future
of Jobs dari World Economic Forum, dunia kerja di masa mendatang akan
sangat membutuhkan tenaga-tenaga kreatif yang memiliki kecerdasan emosi yang
baik. Mesin memang dapat bekerja sangat cepat dan efisien, namun ia tidak dapat
bisa kreatif seperti manusia dan tidak memiliki kecerdasan emosi. Pendidikan Indonesia harus mempersiapkan benih-benih kebudayaan
yang tengah berevolusi ini. Pendidikan harus holistik dan memberi tuntunan
sesuai kodrat anak dan zamannya. Karena itu, dalam menjawab tantangan
transformasi kebudayaan di era revolusi digital ini, sistem pendidikan
Indonesia harus kembali kepada filosofi Bapak Pendidikan Indonesia: sistem
pendidikan yang berhamba pada sang anak. 3.
Aksi Nyata
Yang Dilakukan Penerapan
dari pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang berhamba pada anak ini sangat sesuai
dengan pendekatan pembelajaran yang berpusat pada anak atau dikenal dengan Student Centered Learning (SCL). Dalam
menerapkan konsep Student Centered
Leaning, siswa diharapkan sebagai peserta aktif dan mandiri dalam proses belajarnya,
yang bertanggung jawab dan berinisiatif untuk mengenali kebutuhan belajarnya,
menemukan sumber-sumber informasi untuk dapat menjawab kebutuhannya, membangun
serta mempresentasikan pengetahuannya berdasarkan kebutuhan serta sumber-sumber
yang ditemukannya. Dalam batas-batas tertentu siswa dapat memilih sendiri apa
yang akan dipelajarinya. Pendidikan
yang menghamba pada anak menekankan pada
minat, kebutuhan dan kemampuan individu, menjanjikan model belajar yang
menggali motivasi intrinsik untuk membangun masyarakat yang suka dan selalu
belajar. Model belajar ini sekaligus dapat mengembangkan kualitas sumber daya
manusia yang dibutuhkan masyarakat seperti kreativitas, kepemimpinan, rasa
percaya diri, kemandirian, kedisiplinan, kekritisan dalam berpikir, kemampuan
berkomunikasi dan bekerja dalam tim, keahlian teknis, serta wawasan global
untuk dapat selalu beradaptasi terhadap perubahan dan perkembangan. Hasil dari Aksi Nyata yang Dilakukan Dengan Pendidikan yang menghamba pada anak ini akan terjadi perubahan peran siswa dalam proses pembelajaran sebagai berikut: 1. Siswa ikut bertanggungjawab dalam proses pembelajaran 2. Siswa belajar bagaimana belajar secara mandiri 3. Siswa secara aktif mencari pengetahuan dan melakukan konstruksi dan pemahaman terhadap materi pembelajaran Kesimpulan Pembelajaran
yang berhamba pada anak (student centered learning) dalam
penerapannya dapat memudahkan perancangan instruksi pembelajaran yang efektif
untuk setiap siswa, memudahkan penyerapan materi bagi siswa serta dapat
meningkatkan kemandirian maupun kemampuan komunikasi dan kolaborasi bagi siswa,
dengan demikian pembelajaran yang
berbasis student centered learning
adalah kunci keberhasilan dalam penerapan suatu proses pembelajaran yang. Adapun
keterbatasan dalam pelaksanaan kegiatan ini adalah ada sebagian siswa yang tidak dapat menyelesaikan
tugas dalam kelompoknya tepat waktu dan butuh waktu tambahan untuk
menyelesaikan tugasnya. Rencana perbaikan untuk pelaksanaan di masa mendatang
adalah mengidentifikasi kebutuhan atau gaya belajar masing-masing anak agar
dapat melayani dengan maksimal kebutuhan belajarnya. |
1 Komentar
Mantap bos ku
BalasHapus